Akademi Kepolisian

AKPOL

Monday, May 16, 2011

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dengan Pengajuan Class Action dan Legal Standing


Bab 1. Pendahuluan

1.1.        Latar Belakang

Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Sengketa lingkungan (“environmental disputes”) merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan: “Dispute. A conflict or controversy; a confllct of claims or rights; an assertion of a rlght, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa Inggrisnya pun beragam: “dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”, “conflict intervention”.
Dalam suatu sengketa, termasuk sengketa lingkungan, tidak hanya berdurasi ”perselisihan para pihak ansich, tetapi perselisihan yang diiringi adanya “tuntutan” (claim). Tuntutan adalah atribut primer dari eksistensi suatu sengketa (konflik). Dengan demikian, rumusan Pasal 1 angka 19 UUPLH yang hanya mengartikan sengketa lingkungan sekedar “perselisihan antara dua pihak atau lebih…” tanpa mencantumkan “claim” terasa kurang lengkap dan tidak merepresentasikan secara utuh keberadaan suatu sengketa. Siapakah sesungguhnya para pihak yang berkonfiik dalam sengketa lingkungan? Atau, siapakah subyek sengketa lingkungan itu dan apa pula yang disengketakan (objek sengketa lingkungan)?
Membaca keseluruhan naskah yuridis UUPLH, tampaknya tidak satu Pasal pun yang memberikan jawaban “otentik-stipulatif” atas pertanyaan tersebut. Namun, melalui metode penafsiran [“interpretatie (methode)]” dapat di tentukan subyek sengketa lingkungan, yakni: “para pihak yang berselisih”. Meski disadari bahwa dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (“sustalnable development”) yang paling penting adalah: “how to prevent dispute, not how to settle dispute” sesuai dengan adagium: “prevention Is better than cure”, dan pepatah yang tidak tersangkal kebenarannya: “an ounce of prevention is worth a pound of cure”.
Namun, bukan berarti hukum (UUPLH) harus mengesampingkan sengketa lingkungan tanpa penyelesaian. Sebagai kenyataan yang senantiasa terjadi dan menggejala, sengketa lingkungan membutuhkan penyelesaian yuridis untuk melindungi kepentingan korban pencemaran-perusakan lingkungan sekaligus menyelamatkan lingkungan melalui pendekatan hukum. Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa tunduk kepada hukum.

Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan “kebenaran” dan “keadilan”.
Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum. Dalam perkembangan sejarah perlindungan hukum di Indonesia, khusus mengenai perlindungan hukum melalui gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) sedang hangat-hangatnya dibicarakan baik dalam kalangan akademi, maupun di kalangan penasehat hukum, lembaga swadaya masyarakat dan di kalangan badan peradilan sendiri.
. Cukup banyak kasus-kasus yang terjadi dimana UPL  tidak dioperasikan dan limbah cair yang mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dibuang begitu saja ke media lingkungan Pihak lain, masyarakat yang dirugikan atas tindakan pencemaran lingkungan, tidak mampu mengajukan sendiri kompensasi, baik kompensasi berupa ganti rugi maupun tindakan perbaikan/pemulihan lingkungan, karena alasan ketidaktahuan peraturan perundangan yang akan dijadikan pijakan penuntutan maupun faktor biaya yang bagi mereka masih menjadi keragu-raguan karena dibayangi akan resiko kalah bila menuntut ke Pengadilan. Kompleknya permasalahan lingkungan sebagai bidang relatif baru sangat potensial menimbulkan perbedaan pandangan,  kepentingan atau persepsi diantara para “stakeholders”. Manakala pandangan tentang lingkungan hidup masih beranjak dari kepentingan masing-masing, maka konflik akan selalu muncul.


1.1.        Permasalahan

Bertolak dari paparan singkat tersebut diatas maka penulis merumuskan masalah adalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana prosedur pengajuan gugatan class actions dan legal standing di Peradilan Indonesia.
2.    Mengapa gugatan Class Action dan Legal Standing digunakan?


Bab 2. Landasan Teori


2.1.        landasan teori pembuatan makalah ini antara lain adalah :
1.    Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2.    Menurut Az. Nasution pengertian dan persyaratan gugatan kelompok (class actions) yang dapat diadili oleh Pengadilan apabila :
a.    Penggugatnya berjumlah besar, sehingga tidak praktis apabila digunakan secara perkara biasa
b.    Seorang atau beberapa orang dari kelompok itu mengajukan gugatannya sebagai perwakilan
c.    Terdapat masalah hukum dan fakta gugatan atau perlawanan bersama
d.    Wakil yang bersidang harus mampu mempertahankan kepentingan kelompok.
3.    Menurut Erman Rajagukguk, dkk., class action sebagai suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah yang sama, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa setiap anggota kelompoknya terlibat secara langsung dalam proses peradilan.



Bab 3. Pembahasan

      Keberadan gugatan perwakilan kelompok, baik class action maupun  legal standing,  mulai mendapat perhatian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan sudah memasukkan aturan mengenai gugatan perwakilan kelompok, yakni di dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolalan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU. No. 41 Tahun 1999 yang mengatur tentang Kehutanan, PERMA No. 2 Tahun 1999 tentang Pengawasan Mahkamah Agung Terhadap Partai Politik, serta PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang tata cara gugatan perwakilan kelompok. Sebagai contoh, berdasarkan ketentuan Pasal 38 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH), organisasi lingkungan diberi hak gugat untuk mengajukan tuntutan atas nama kepentingan perlindungan lingkungan hidup. Hak tersebut terbatas pada tuntutan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti kerugian, kecuali biaya atau pengeluaran riel.

A.   Pengertian Gugatan Perwakilan (Class Actions) dan Gugatan Organisasi (Legal Standing)
1.    Pengertian gugatan perwakilan (class actions)
Class action  dikenal juga dengan istilah gugatan perwakilan kelompok. Pada prinsipnya gugatan class actions merupakan suatu cara untuk memudahkan pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jalur keperdataan. Bahwa sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan kerugian terhadap banyak orang, memiliki fakta-fakta atau dasar hukum, serta tergugat yang sama, diajukan secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan ketidak efisiennan bagi para pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan kepada pihak pengadilan sendiri.Tujuan gugatan class actions, agar supaya proses berpekara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien (judicial economy). Tidaklah ekonomis bagi pengadilan jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu per satu. Manfaat ekonomis gugatan class actions ini tidak saja dirasakan oleh penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class actions, tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Biaya pengacara melalui mekanisme gugatan class actions ini akan lebih murah daripada gugatan masing-masing individu secara satu persatu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ganti kerugian yang akan diterima. Apalagi jika biaya gugatan yang akan dikeluarkan tidak sebanding dengan tuntutan yang diajukan. Mekanisme ini juga untuk mencegah putusan-putusan yang berbeda antara majelis hakim yang satu dengan majelis hakim yang lainnya. Dalam Peraturan Makamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, gugatan Perwakilan Kelompok (Class Actions) didefinisikan sebagai suatu tata cara atau prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya sangat banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

2.    Pengertian gugatan organisasi (legal standing)

Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan atau kelompok/ organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat.Legal standing, Standing tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding) disederhanakan sebagai “hak gugat”. Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (poit d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact). Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan, masyarakat  luas atas pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak Civil dan Politik. Selain itu bidang lingkungan hidup dapat terjadi suatu keadaan dimana suatu organisasi atau kelompok orang mengajukan gugatan dengan mendasarkan kepada kepentingan yang tidak bersifat diri pribadi mereka atau kelompok mereka, tetapi mengatas namakan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak (masyarakat) atau yang disebut sebagai “algemeen belang”.

Substansi utama yang mewadahi gugatan perwakilan baik itu berupa class action maupun secara legal standing adalah keduanya berada pada ranah hukum perdata dan merupakan bentuk pengajuan gugatan dalam bentuk perwakilan.Hal ini sesuai dengan Undang-undang no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana pada bagian ke tiga mengatur tentang Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Peradilan dan kemudian dijabarkan lewat pasal 87 sampai dengan pasal 92.Sedangkan dasar pembeda antara gugatan perwakilan secara class action dengan legal standing terdapat pada siapa yang mengajukan dan kepada siapa gugatan ditujukan.Seperti hal nya yang digambarkan pada tabel dibawah ini ;







Jenis Gugatan
Penggugat
Tergugat
Bentuk Tuntutan
Keterangan
Legal
Standing

Badan
Hukum
NGO/LSM

*Pemerintah
*Perusahan
*Badan hukum
*Individu
Pemulihan
Lingkungan
Harus sesuai dengan  tujuan organisasi dalam Anggaran Dasar
Class
Action
Individu
Kelompok Masyarakat
*Pemerintah
*Perusahan
*Badan hukum
*Individu
Pemulihan
Keadaan  Lingkungan dan
Ganti Rugi
Mengalami Kerugian langsung maupun berpotensi mengalami kerugian










Pada gambar diatas terlihat jelas bahwa mekanisme mengenai siapa yang berhak mengajukan gugatan dan kepada siapa gugatan itu ditujukan,terkait dengan gugatan secara class action dan legal standing sudah dijabarkan dengan jelasnya.
Class Action diajukan masyarakat  melalui prosedur perdata yang diwakilkan oleh satu atau sejumlah orang yang bertindak sebagai pihak penggugat.Hal ini sesuai dengan unsur-unsur penggugat pada gugatan class action itu sendiri yaitu Wakil Kelompok (Class Represntatif) dan Anggota Kelompok (Class Members). Class Representatif diartikan sebagai satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota kelompok.Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari wakil kelompok sebagai penggugat aktif.Class Members diartikan sebagai sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan.Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah penggugat pasif. Kedua hal tersebut (penggugat) adalah dasar pembeda yang paling kentara pada gugatan class action dan legal standing,walaupun keduanya adalah sama-sama bentuk pengajuan gugatan perdata yang dilakukan secara perwakilan kelompok



B.  Upaya Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dengan pengajuan Class Action dan Legal Standing.

Pada UU No 32 tahun 2009 masalah penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur pada bagian ke tiga Undang-undang ini.Dimana secara perdata undang-undang ini membatasi aturan-aturan mengenai pengajuan gugatan oleh pihak-pihak tertentu saja,sebagai upaya pencegahan dan usaha pelestarian lingkungan hidup,yaitu :

1.    Hak Gugat Masyarakat (Class Action)
·         Pasal 91 (1)
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
·         Pasal 91 (2)
Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa ,dasar hukum,serta jenis tuntutan diantara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

2.    Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup (Legal Standing)
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup (pasal 92 ayat 1).

Berdasarkan penjelasan diatas terlihat dengan jelas batasan-batasan siapa saja pihak-pihak yang berhak mangajukan suatu gugatan. Akan tetapi dalam makalah ini tidak akan membahas keseluruhan pihak-pihak yang  berhak mengajukan gugatan tersebut melainkan hanya pengajuan gugatan melalui class action dan legal standing.



1.    Gugatan Perwakilan (Class Action)
Korban dari kasus perusakan dan atau pencemaran lingkungan dapat dalam jumlah yang cukup banyak. Salah satu contoh kasus yang belum lama terjadi adalah tragedi lumpur Lapindo yang menyebabkan ribuan orang menjadi korban. Oleh karena itu, apabila bersifat mengajukan gugatan ke pengadilan adalah lebih tepat dengan mengajukan gugatan perwakilan atau yang sering disebut sebagai gugatan class action. Unsur-unsur gugatan class action sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 37 adalah, :

(1).     Hak sejumlah kecil masyarakat untuk mewakili diri mereka sendiri (class representative)dan orang lain dalam jumlah yang besar (class members);
(2).     Pihak yang diwakili dalam jumlah yang besar (numerousity of class members), dan;
(3).     Kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan antara yang mewakili dan diwakili (commonality).

Dengan demikian, LSM lingkungan tidak memiliki hak untuk mengajukan gugatan class action, karena mereka bukanlah termasuk korban (pihak yang mengalami kerugian nyata). Sedangkan, Bapedalda Provinsi atau Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Kota/Kabupaten selaku instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup di daerah, berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (2) dapat mengajukan gugatan class action untuk kepentingan masyarakat, meskipun bukan termasuk korban. Oleh karena itu, ketika masyarakat (korban) dalam keadaan bingung dan semacamnya, mestinya Bappedalda Provinsi dan/atau Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Kota/ Kabupaten dapat bertindak cepat mengajukan gugatan class action untuk membela kepentingan para korban itu. Dengan demikian, berdasarkan pasal tersebut, Bappedalda Provinsi atau Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Kota/Kabupaten tidak memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian untuk dan atas nama kepentingannya Memang UUPLH tidak menyebutkan secara tegas berapa jumlah minimal dari korban yang banyak itu. Tetapi setidaktidaknya, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok menyebutkan bahwa jumlah yang banyak itu sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan. Gugatan dengan prosedur gugatan perwakilan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1.    Numerosity, yaitu gugatan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak,sebaiknya orang banyak itu diartikan denganlebih dari 10 orang; sehingga tidaklah efektifdan efisien apabila gugatan dilakukan sendirisendiriatau bersama-sama dalam satu gugatan.
2.    Commonality, yaitu adanya kesamaan fakta(question of fact) dan kesamaan dasar hukum(question of law) yang bersifat subtansial,antara perwakilan kelompok dan anggotakelompok; misalnya pencemaran; disebabkan dari sumber yang sama, berlangsung dalam waktu yang sama, atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat berupa pembuangan limbah cair di lokasi yang sama, dll.
3.    Tipicality, yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan antara perwakilan kelompok dananggota kelompok; Persyaratan ini tidak mutlak mengharuskan bahwa penggugat mempunyaituntutan ganti rugi yang sama besarnya, yang terpenting adalah jenis tuntutannya yang sama,misalnya tuntutan adanya biaya pemulihan kesehatan, dimana setiap orang bisa berbeda nilainya tergantung tingkat penyakit yang dideritanya.
4.    Adequacy of Representation, yaitu perwakilan kelompok merupakan perwakilan kelompok yang layak, dengan memenuhi beberapa persyaratan:

a.  Harus memiliki kesamaan fakta dan atau dasar hukum dengan anggota kelompok yang diwakilinya;
b.   memiliki bukti-bukti yang kuat;
c.   jujur;
d.  Memiliki kesungguhan untuk melindungi kepentingan dari anggota kelompoknya;
e.  Mempunyai sikap yang tidak mendahulukan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan anggota kelompoknya; dan
f.   Sanggup untuk menanggulangi membayar biaya-biaya perkara di pengadilan.

Mekanisme pengajuan surat gugatan yang didaftarkan ke pengadilan, selain harus memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata, harus memuat :

1.    Identitas lengkap dan jelas,
2.    Definisi kelompok secara secara rinci dan spesifik
3.    Keterangan tentang anggota kelompok;
4.    Jika tuntutan tidak sama karena sifat dankerugian yang berbeda, maka dalam satu gugatan dapat dikelompokkan beberapa bagian atau sub kelompok;
5.    Tuntutan atau petitum ganti rugi, mekanisme pendistribusian dan usulan pembentukan tim.

Setelah Gugatan didaftarkan ke peradilan umum, segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan gugatan kelompok dinyatakan sah, wakil kelompok memberitahukan kepada anggota kelompok melalui media cetak/ elektronik, kantor pemerintah atau langsung kepada anggota kelompok.

Adapun tujuan dan manfaat pengajuan gugatan class action (gugatan kelompok ) adalah sebagai berikut :

a.    Agar supaya proses berperkara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien. Tidaklah ekonomis bagi penggugat, tergugat, bahkan pengadilan sekalipun jika harus melayani gugatan yang sejenis satu per satu. Manfaat ekonomis ini tidak saja hanya dirasakan oleh penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class actions, tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan para pihak-pihak yang merasa dirugikan. Biaya pengacara melalui mekanisme class actions akan jauh lebih murah daripada gugatan yang diajukan oleh masing-masing individu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ganti kerugian yang diterima (judicial economy).
b.    Mencegah pengulangan proses perkara yang sama, dan mencegah putusan-putusan yang berbeda satu dengan yang lainnya ataupun putusan-putusan
yang tidak konsisten.
c.    Memberikan akses kepada keadilan, dan mengurangi hambatan-hambatanyang terjadi bagi penggugat individual yang pada umumnya berposisi lebih lemah (the rights of groups of people who individually would be without effective strength to bring their opponents into court). Apalagi jika biaya gugatan yang akan dikeluarkan oleh para pihak tidak sebanding dengan tuntutan yang diajukan. Melalui gugatan class actions ini, kendalakendala yang terjadi ini dapat diatasi dengan cara saling menggabungkan diri bersama-sama dengan korban atau penderita kerugian yang lain dalam satu gugatan saja, yaitu gugatan kelompok.
d.    Merubah sikap pelaku pelanggaran/tergugat dengan diterapkannya prosedur class actions berarti memberikan akses yang lebih luas bagi para pencari keadilan untuk mengajukan gugatan dengan biaya yang lebih efisien, dan kemudian akan berpeluang untuk menumbuhkan sikap jera bagi mereka yang berpotensi untuk merugikan kepentingan masyarakatyang luas (behaviour modification/to punish corporate wrong doing, and to force corporates to pay for any harm they have caused).

2.    Gugatan Legal Standing
Dalam proses pengajuan gugatan class action tidak selamanya perkara yang ditangani dapat selesaikan dengan tuntas seperti Kasus Lumpur lapindo oleh pihak Lapindo Brantas. Dalam kasus tersebut timbul kendala dalam pengajuan gugatan class action karena pihak Lapindo Brantas Inc telah memberikan  ganti rugi yang terlanjur sudah dinikmati oleh masyarakat korban lumpur lapindo tersebut, akan tetapi oleh pihak Lapindo Brantas penerimanya tak boleh menggugat secara hukum.  Legal standing seringkali disebut juga sebagai hak gugatan organisasi (ius standi). Standing secara luas dapat diartikan sebagai akses orang perorangan, kelompok/organisasi di pengadilan sebagai Pihak Penggugat. Legal standing, Standing to Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding). Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (point d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact). Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak sipil dan politik.
Dalam mengajukan suatu gugatan ini tentunya haruslah secara tertulis yang ditujukan kepada Ketua Pegadilan Negeri diwilayah hukum tergugat dan kemudian gugatan ini daftarkan di Kepaniteraan Perdata (PN) untuk mendapatkan nomor register perkara. Namun sebelum itu penggugat haruslah menyetor sejumlah uang perkara (besarnya tergantung jumlah Tergugat) dan apabila dalam mengajukan gugatan ini diberikan kuasa kepada seorang/beberapa advokat tentunya harus dibarengi dengan surat kuasa untuk mewakili kepentingan Penggugat di Pengadilan. Dalam hal memeriksa dan mempertimbangkan perkara legal standing ini tentunya kita merujuk pada ketentuan yang telah diatur dalam UU No. 23 tahun 1997 Pasal 39 yang mnenyebutkan : “Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku’. Legal Standing dilakukan oleh Organisasi  Lingkungan Hidup sebagai perwakilan penggugat,namun tidak semua organisasi lingkungan dapat mengajukan gugatan,melainkan harus memenuhi persyaratan,yaitu :

1.    Berbentuk Badan Hukum atau Yayasan;
2.    Menegaskan didalam Anggaran Dasar nya bahwa organisasi tersebut didirikan  untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
3.    Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan Anggaran Dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

Salah satu contoh dalam penanganan kasus lumpur lapindo adalah keiikut sertaan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup ). Walhi yang dalam hal ini sebagai organisasi resmi yang bergerak dalam bidang Lingungan Hidup dapat mengajukan gugatan legal standing dalam kasus tersebut.

Tata cara pengajuan gugatan class action dan legal standing dianggap mempunyai perbedaan dengan tata cara pengajuan gugatan perdata konvensional pada umumnya. Karena meskipun kedua model gugatan tersebut dikategorikan sebagai gugatan perwakilan kelompok, tetapi di sini tidak dipersyaratkan adanya pemberian kuasa khusus dari kelompok masyarakat yang diwakili. Di samping itu tidak dipersyaratkan pula untuk mencantumkan identitas secara lengkap dari pihak yang mewakili maupun yang diwakili. Sedangkan dalam gugatan perdata konvensional berlaku hal yang sebaliknya,  dalam hal perkaranya diwakilkan kepada pihak lain lazimnya mensyaratkan adanya pemberian kuasa khusus dan pencantuman identitas yang lengkap dari pihak-pihak yang berperkara. Tidak dipenuhinya syarat-syarat formil tersebut dapat berakibat gugatan dinyatakan tidak diterima atau N.O (Niet Onvankellijk verklaard).
Bab 4. Penutup

Gugatan melalui perwakilan dalam hukum perdata di Indonesia sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang cukup kuat, hal ini setidaknya terjadi pada kasus-kasus gugatan mengenai kerusakan kelestarian fungsi lingkungan hidup di Indonesia. Dengan dikeluarkannya UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup diharapkan kepedulian dari masyarakat baik secara individu dan kelompok serta bentuk-bentuk organisasi lingkungan hidup untuk dapat terus perduli dan berperan aktif guna menjaga dan memelihara kelestarian Lingkungan Hidup dari segala kegiatan dan usaha yang dapat menyebabkan  terjadinya kerusakan lingkungan hidup tersebut. Penerapan gugatan melalui pengadilan baik secara class action ataupun secara legal standing harus dijadikan sebagai salah satu cara dalam menempuh keadilan agar setiap elemen pembangunan menyadari arti pentingnya lingkungan hidup. Class Action dan Legal Standing hendaknya dipahami sebagai dua jenis gugatan perdata melalui perwakilan kelompok yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dimulai dari aspek penggugat berupa orang atau sekelompok orang dengan penggugat organisasi lingkungan, aspek yang digugat. Fokus legal standing ada pada pemulihan lingkungan dengan melihat kepada konsep tuntutan dengan fokus class action yang lebih mengarah kepada dampak dari kerusakan yang muncul sehingga menimbulkan apa yang dinamakan ganti kerugian. Persyaratan untuk diterimanya suatu gugatan kelompok bilamana antara kelompok kecil masyarakat yang bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang merasa dirugikan terdapat adanya kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
 

1 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More