Akademi Kepolisian

AKPOL

Monday, May 16, 2011

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Proses Pembuktiannya di Wilayah Hukum Polda Metro Jaya



BAB I P E N D A H U L U A N


A. Latar Belakang Masalah


Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.


Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini khususnya kota-kota besar seperti diwilayah hukum Polda Metro Jaya, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya.
Keberhasilan pemberantasan tindak korupsi sangat tergantung dengan keberhasilan proses pembuktian tindak pidana korupsi tersebut di persidangan. Setelah terbukti bahwa benar terdapat tindak pidana korupsi barulah terdakwa dapat dikenai sanksi pidana. Mengingat betapa pentingnya pembuktian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, hal ini menyebabkan penulis ingin meneliti mengenai hal tersebut. Polri sebagai alat hukum dituntut agar dapat bekerja secara maksimal dan profesional dalam hal pemberantasan korupsi.
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Langkah-langkah apa yang harus ditempuh oleh para penegak hukum dalam melakukan pembuktian perkara korupsi di pengadilan?
2.      Bagaimana hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pembuktian perkara korupsi dipengadilan?
3.      Kedua masalah diatas diteliti dalam wilayah hukum Polda Metro Jaya

BAB II PEMBAHASAN     
            Bersentuhan langsung dengan masyarakat metropolitan, ternyata bukan hanya kasus pencurian, pembunuhan yang ditangani oleh jajaran Polda Metro Jaya. Dalam jumpa pers akhir tahun yang digelar Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Sutarman terungkap, Direktorat Reserse Kriminal Khusus telah menyelesaikan tujuh kasus korupsi selama tahun 2010. Dua kasus di antaranya merupakan kasus yang sempat menyedot perhatian masyarakat. Dewasa ini kita dapat begitu banyak kasus-kasus tindak korupsi yang belum tuntas diselesaikan dan terpecahkan. Dari data yang kami peroleh dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menangani tujuh kasus tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2010. “Tiga kasus sudah selesai proses penyelidikannya sampai akhir 2010. Ini menandakan bahwa upaya penanganan kasus-kasus korupsi masih belum maksimal.

            Kasus – kasus yang menonjol dan sempat menyita perhatian publik  antara lain kasus korupsi dengan tersangka mantan Kepala Kantor Pemeriksaan Jakarta VII Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Bahasyim Assifie dengan kerugian senilai Rp. 66 miliar, pada 8 April 2010. Kemudian kasus korupsi pengadaan fiktif terhadap alat berat dan alat bantu pada Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Pusat atas nama tersangka Kurniawan dan  Imam   Subagio   senilai
 Rp. 8,8 miliar, pada 8 November 2010.

            Belum maksimalnya  penyelesaian kasus-kasus korupsi dewasa ini mungkin disebabkan karena untuk menuntaskan sebuah kasus korupsi memang diperlukan waktu yang tidak sedikit, ini dikarenakan memang penanganannya sangat terkait dengan berbagai aspek. Sebagai contoh satu mata anggaran yang diperuntukkan bagi pembangunan jalan. Sementara jalan yang dibangun masih layak digunakan untuk beberapa tahun ke depan. Apabila anggaran tersebut dialihkan kepada pembangunan kepentngan umum lainnya, maka dapat disebut ada pelanggaran. Namun, belum bisa dipastikan apakah ada atau tidak kerugian negara. Sebab, anggaran dimaksud tetap digunakan untuk kepentingan umum. “Informasi soal adanya tindak pidana korupsi bisa kita peroleh dari pihak-pihak yang berkepentingan, media massa, atau BPK maupun BPKP akan tetapi informasi masih mentah dan perlu penelusuran lebih seksama. Hal lain yang juga sedang hangat diperbincangakan dimasyarakat adalah kasus-kasus korupsi yang melibatkan orang-orang penting dipemerintahan Yang dinilai masih tidak tersentuh ataupun belum terselesaikan juga hingga kini.

            Terkait penanganan kasus korupsi yang biasanya melibatkan orang-orang berpengaruh, Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya dipandang perlu memiliki kiat tersendiri. Salah satu cara yakni agar  semua kasus korupsi di Blow Up ke media massa. Dengan demikian intervensi ataupun  hal lainnya dapat dihindari. Teknik ini dinilai efektif untuk menghilangkan niat pihak-pihak tertentu yang ingin mengintervensi. Sebab, dengan pemberitaan di media massa sebuah kasus akhirnya harus diungkap secara transparan. Jika tidak, dapat menimbulkan kecurigaan publik yang mengikuti kasus tersebut. Namun, pelibatan media massa bukan tak punya persoalan. Terkadang pemberitaan yang terlalu berlebihan atau bahkan lebih maju dari penyelidikan yang mash dilakukan bisa mempersulit penyidik. “Banyak kasus korupsi yang pemberitaan media massa akhirnya membuat penyidik kesulitan mendapatkan bukti-bukti. Pihak-pihak terkait akhirnya menyembunyikan atau menghilangkannya.

Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001 Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
3. Kepolisian
4. Kejaksaan
5. BPKP
6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW)

Secara faktual diketahui pula hubungan penyebab ketidak tuntasan penyelidikan dan penyelesaian kasus-kasus korupsi disebabkan juga karena pemahaman Instansi Kepolisian dan Kejaksaan mengenai kewenangan penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang terkesan "Tarik menarik".Hai ini dipengaruhi oleh konflik lama, kerancuan dan tumpang tindihnya beberapa peraturan per-Undangundangan tertentu yang bertalian erat dengan Tindak Pidana Korupsi, usaha-usaha pihak Kejaksaan untuk mengambil alih hasil penyidikan Polri, disamping tingkat Sumber daya manusia dan keterpaduan fungsi oprasional pendukung Satuan Reserse Tipikor yang memerlukan pemberdayaan.
Perbuatan korupsi dapat saja mempunyai dua motif sekaligus, yakni korupsi yang sepintas lalu hanya mendapatkan uang tetapi sesungguhnya sudah dipersiapkan untuk kepentingan politik, demikian pula korupsi yang kelihatannya hanya merugikan di bidang perekonomian  tetapi dapat juga misalnya dipergunakan untuk mempengaruhi jalannya pemilihan umum agar mengalami kegagalan melalui manipulasi suara.
Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime). Untuk mengungkap perkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem pembuktian yang terletak pada beban pembuktian.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan pembuktian yang menyimpang dari ketentuan pembuktian perkara pidana biasa. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah :
1.    Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi  yang dilakukan tersangka (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
2.   Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap (Pasal  29 ayat (1) jo. ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
3.   Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil korupsi. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran (Pasal  29 ayat (4) jo. ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
4.   Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak  pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal  30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
5.   Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, isteri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa. Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa (Pasal  35 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
6.   Kewajiban memberi kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia (Pasal  36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
7.   Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan   tindak    pidana  korupsi  (Pasal   37  ayat  (1)  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
8.    Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya (Pasal  36 ayat  (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
9.   Terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan (Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
10. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat dipergunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
11. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya  (Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
Menurut ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak seorang terdakwa berdasarkan azas praduga tak bersalah terasa agak dikurangi. Alasan yang dipergunakan oleh pembentuk Undang-Undang adalah karena sulitnya pembuktian perkara korupsi dan bahaya yang diakibatkan oleh perbuata korupsi tersebut.
Salah satu ketentuan yang sangat menyimpang dari azas praduga tak bersalah  adalah ketentuan mengenai pembagian beban pembuktian. Terdakwa diperkenankan oleh hakim untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi, tanpa mengurangi kewajiban Penuntut Umum untuk tetap membuktikan kesalahan terdakwa.
Ketentuan seperti tersebut diatas memberikan gambaran watak hukum yang mengandung isi kontradiktif sekaligus menjamin dua macam kepentingan yang saling berhadapan, yaitu disatu pihak terdakwa telah dapat membuktikan menurut Undang-Undang  bahwa  ia   tidak   bersalah   melakukan   tindak   pidana korupsi dilain pihak Penuntut Umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Dalam pembuktian pada perkara tindak pidana biasa terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk melakukan pembuktian, sehingga pembuktian mutlak diletakkan dalam tangan Penuntut Umum. Pengertian semacam ini berpokok pada azas dari hukum pidana yaitu azas praduga tak bersalah, di mana terdakwa belum dapat dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Tantangan tugas yang dihadapi Polri dalam melaksanakan penegakan hukum tindak   pidana    korupsi    antara    lain   tingginya   partisipasi   sekaligus     tuntutan masyarakat agar polri tidak hanya mampu menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara saja, akan tetapi juga kasus-kasus yang berkaitan dengan kelancaran pengurusan berbagai macam perijinan yang dirasakan oleh masyarakat memakan biaya tambahan.

Dibalik tantangan tugas dimaksud, Polri masih dihadapkan pula pada kendala baik internal maupun eksternal seperti adanya ketentuan-ketentuan hukum yang melemahkan kapasitas polri selaku penyidik tindak pidana korupsi, untuk pemberantasan korupsi di indonesia, maka kebijakan Polri secara umum adalah melaksanakan percepatan pemberantasan korupsi yang telah dijabarkan melalui strategi preemtif (penangkalan), strategi preventif (pencegahan) dan strategi penegakan hukum (penindakan) , sebagai berikut :
1.                  Strategi preemtif (penangkalan).
Strategi preemtif dilakukan untuk mencegah perilaku koruptif secara lebih dini melalui perbaikan dan peningkatan kesadaran pribadi individu seseorang untuk berbuat dan beraktivitas dalam sistem yang lebih transparan dan accountable, perbaikan remunerasi, dan peningkatan pengawasan guna membentuk integritas pribadi menuju integritas bangsa yang bebas korupsi, dan dilain pihak secara eksternal masyarakat harus ikut berpartisipasi berupa penolakan terhadap lingkungan dan perilaku yang koruptif, antara lain dengan
a.   Memberdayakan  potensi  masyarakat melalui  perpolisian masyarakat atau polmas (community policing), dengan memberikan sosialisasi dan edukasi tentang permasalahan korupsi dan peraturan perundangan-undangan terkait serta dampaknya, termasuk sosialisasi peraturan pemerintah RI nomor 71 tahun 2000 tentang tata cara peran serta masyarakat dalam mendukung pemberantasan korupsi di indonesia.
b.            Menerapkan konsep dasar tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) menuju best practices berupa perbaikan sistem administrasi meliputi perbaikan layanan publik, penegakan hukum, administrasi, keuangan,  dan  partisipasi aktif dari masyarakat dengan mengacu kepada prinsip-prinsip yang transparan, akuntabel, efisien, konsisten, partisipatif, dan responsif, seperti anggaran berbasis kinerja, menyederhanakan prosedur layanan, pemberian tunjangan kinerja dan lain-lain.
c.    Sejak tanggal 1 januari 2008 Polri telah membentuk lembaga pengawas penyidikan internal yang bertugas melaksanakan pengawasan penyidikan terkait dengan kinerja penyidik pada aspek manajemen penyidikan, teknis penyidikan, ketepatan waktu dan perilaku penyidik.

2.                  Strategi preventif (pencegahan).
Presiden susilo bambang yudhoyono menyatakan di hadapan sidang paripurna DPR tanggal 15 agustus 2008 bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi harus dilihat juga dalam upaya pencegahan perilaku korupsi, oleh sebab itu tidak bisa memberantas korupsi hanya dengan memenjarakan pelaku  karena perbuatan korupsinya artinya keberhasilan pemberantasan korupsi itu harus dilihat dalam pencegahan perilaku korupsi bukan hanya melakukan penegakan hukum dengan memasukkan orang ke penjara karena korupsi.
Oleh sebab itu strategi pencegahan yang dilaksanakan oleh Polri tetap mengacu kepada instruksi presiden nomor 5 tahun 2004 (instruksi umum diktum pertama sampai ke sepuluh untuk dilaksanakan oleh polri termasuk sekitar 500 instansi pemerintah pusat dan daerah), yang telah diimplementasikan oleh Polri baik secara internal maupun eksternal.
a.     Internal.
            di lingkungan internal Polri telah dikeluarkan surat perintah Kapolri no. Pol:   sprin / 2635 / XII / 2004  tanggal 21 desember 2004 yang pada intinya menegaskan untuk dilakukannya perbaikan secara simultan baik di tingkat pusat sampai dengan unit pelaksana terdepan di seluruh kesatuan kewilayahan polri melalui berbagai upaya, antara lain :
1.                  Meningkatkan jumlah pembuatan LHKPN di lingkungan pejabat-pejabat Polri khususnya pejabat eselon II keatas, penyidik, pejabat pembuat komitmen serta bendahara satuan kerja.
2.                  Membuat produk penetapan kinerja dan disertai standarisasi penilaian hasil kinerja yang selanjutnya disusun dalam lakip setiap tahun, pembenahan sistem pembinaan sdm, sistem pengadaan barang dan jasa sesuai ketentuan yang berlaku.
3.                  Menerapkan langkah - langkah pelayanan publik sesuai dengan pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana keputusan menteri negara pan nomor : 63/kep/ m.pan/7/2003.
4.                  Melaksanakan sistem pelayanan publik dengan menekankan kejelasan persyaratan, prosedur, target waktu penyelesaian, tarif / biaya terutama untuk pelayanan sim, BPKP dan perijinan lainnya, dengan hasil yang telah dicapai untuk dikembangkan secara terus menerus di seluruh jajaran Polri antara lain :
a).        Mendapatkan penghargaan pelayanan prima yang diberikan oleh presiden RI terhadap polda metro jaya dan 20 samsat di 20 kepolisian resort pada tahun 2005 s/d 2008.
b).        Diperolehnya sertifikat iso 9001 : 2000 antara tahun 2005-2008 di 9 unit pelayanan ssb di 9 polda di indonesia.
c).        Sedangkan beberapa Polda lain telah menerima award pelayanan prima dari menteri negara pan seperti baru-baru ini diraih oleh polda jawa timur.
5.                  Pembenahan sistem pembinaan sumber daya meliputi penerimaan calon anggota Polri / PNS Polri,   penataan   proses seleksi pendidikan dan penataan sistem pengadaan barang dan jasa sesuai dengan Keppres nomor 80 tahun 2003 dan perubahannya, dengan hasil antara lain pelaksanaan rekruitmen dan pembinaan sumber daya manusia telah diterima sertifikat iso 9001:2000 dalam penerimaan Taruna Akpol di semarang pada tahun 2008.
6.                  Melakukan penghematan pen-yelenggaraan kegiatan dengan menyederhanakan acara-acara yang bersifat seremonial, menetapkan konsignes dalam rangka efisiensi penghematan penggunaan listrik, telepon, air dan bbm.
7.                  Melaksanakan pengawasan melekat secara berjenjang pada setiap tingkatan pimpinan satuan sampai dengan unit maupun tim yang secara struktural menjadi tugas, wewenang  dan tanggung jawab masing-masing ka kesatuan / unit kerja sedangkan pengawasan fungsional dilaksanakan oleh inspektorat umum polri dan inspektorat pengawasan daerah.
8.                  Mengefektifkan peran dan fungsi propam dalam upaya pengawasan maupun penindakan terhadap pelanggaran disiplin dan kode etik profesi Polri, sedangkan pelanggaran  pidana  oleh  anggota  Polri  dapat diproses langsung oleh pengemban fungsi reserse kriminal polri yang dilaksanakan secara proporsional, transparans dan dapat dipertanggung jawabkan.
9.                  Menerapkan sistem pengawasan 2 tahap dengan mengikutsertakan aparat BPKP yakni : tahap pertama pengawasan pada tahap perencanaan dan peng-organisasian dengan memberikan petunjuk kepada setiap satuan kerja tentang   pengelolaan   keuangan   negara,   selanjutnya   tahap kedua pengawasan pada tahap pelaksanaan dan pelaporan/ pertanggungjawaban keuangan negara yang telah dikelola/ digunakan.

B.       Eksternal
1.         Sosialisasi pemberantasan korupsi baik kepada instansi pemerintah maupun kepada masyarakat umum serta ikut aktif berkoordinasi untuk berperan mendorong penyiapan infrastruktur bagi pengembangan dan penerapan sistem pengendalian internal, penilaian resiko, dan sistem pertanggung jawaban.
2.                  Mengarahkan dukungan penuh masyarakat agar dapat  turut  serta  dalam memperbaiki sistem pelayanan Polri terutama pada sektor-sektor yang rawan penyalahgunaan wewenang dan korupsi dengan cara mendorong masyarakat ikut berperan melakukan pengawasan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, antara lain melalui kotak pengaduan, layanan sms dan lain-lain.
3.                  Mengimplementasikan secara konsisten peraturan pemerintah ri. Nomor 71 tahun 2000 dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam memberikan laporan dan pengaduan dugaan korupsi sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.

3.                  Strategi penegakan hukum.
Kebijakan Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum tindak pidana korupsi, adalah :
a.                   Penegakan hukum oleh Polri dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, adil, menjunjung tinggi  ham serta
Bebas dari pengaruh politik dan interest-interest tertentu, penegakan hukum yang tegas dimaksudkan untuk memberi efek detern bagi pelaku dan calon pelaku.
b.                  Penyidikan kasus korupsi, disamping untuk membuktikan perbuatan pelaku, juga untuk semaksimal mungkin dapat mengembalikan kerugian keuangan negara sebagaimana inpres nomor 5 tahun 2004 diktum 11 angka 10a : “mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara”.
c.                   Penanganan tindak pidana korupsi di tingkat mabes Polri dilaksanakan oleh Direktorat III/pidkor & wcc Bareskrim Polri, di tingkat  Polda  dilaksanakan  oleh  satuan  opsnal iii direktorat reserse dan kriminal, ditingkat Polwil / Polwiltabes / Poltabes dilaksanakan oleh subbag reserse kriminal/satuan reserse kriminal,  ditingkat  polres  dilaksanakan  oleh  satuan reserse kriminal, dengan pertimbangan bahwa kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah ditangani oleh penyidik dari satuan yang lebih atas.
d.                  Untuk kelancaran penyidikan dilakukan koordinasi dan kerjasama dengan berbagai instansi terkait sebagaimana instruksi presiden nomor 5 tahun 2004 diktum 11 angka 10c : “meningkatkan kerjasama dengan kejaksaan republik indonesia, badan pengawas  keuangan  dan pembangunan, pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan dan  instansi negara yang terkait dalam upaya penegakan hukum danpengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi,

Adanya tumpang tindih penyelesaian kasus korupsi disebabkan pemahaman kedua Instansi penegak hukum yang merupakan bagian dari sistem peradilan Pidana di Indonesia, berawal dari pasal 284 ayat (2) UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang semula bersifat sementara namun berlaku hingga kini, yang kemudian menjadi semakin sulit dengan lahirnya Keputusan Presiden RI No.31 tahun 1983 tentang BPKP dan Instruksi Presiden RI No. 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pengawasan Melekat serta UU No.28 tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI. Sebagai contoh selama ini jika Kepolisian yang melakukan penyidikan akan diberikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada   Kejaksaan dan KPK. Begitu juga dengan Kejaksaan. Namun tidak demikian halnya dengan KPK, karena dalam UU tidak ada ketentuan tersebut. Hal ini yang menyebabkan banyak kasus yang akhirnya ‘gugur’ tidak sampai ke tahap penututan di pengadilan.

Kejaksaan Agung, Kepolisian dan KPK sepakat untuk menandatangani nota kesepahaman (MoU) terkait penanganan kasus korupsi. MoU tersebut dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih dalam penanganan perkara korupsi di antara ketiga institusi penegak hukum tersebut. Dalam hal meningkatkan kerjasama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, BPKP, PPATK, dan institusi negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sampai dengan 2008 telah diwujudkan dalam bentuk nota kesepahaman (mou), antara lain :
1)                  Mou Polri dengan BPKP tanggal 29 april 2002, tentang kerjasama  dalam  penanganan  kasus  yang berindikasi korupsi, yang pada intinya mengatur mekanisme penanganan kasus yang berindikasi pidana hasil audit bpkp dan prosedur permintaan audit investigatif dan keterangan ahli.
2)                   Mou Polri dengan Kejaksaan agung tanggal 7 maret 2006, tentang optimalisasi koordinasi dalam pemberantasan korupsi yang pada intinya mengatur mekanisme dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan penyerahan serta pengembalian berkas perkara.
3)                   Mou antara Polri, Kejaksaan Agung dan BPKP tanggal 28 september 2007, menyingkapi rendahnya penyerapan apbn/apbd yang dikhawatirkan berdampak pada terhambatnya laju pembangunan nasional (dalam tahap sosialisasi).
4)                  Kesepakatan bersama antara Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK-RI) dan polri tanggal 21 nopember 2008, Tindak lanjut penegakan hukum terhadap hasil pemeriksaan BPK-RI yang berindikasi tindak pidana.

BAB V KESIMPULAN
            Agar penanganan suatu tindak pidana korupsi dapat  berjalan dengan efektif dan cepat maka Polri dalam hal ini di Jajaran Polda Metro Jaya diharapkan senantiasa bekerja secara Optimal, Profesional dan Transparan dalam hal melakukan proses hukum suatu kasus korupsi disamping itu pula  diperlukan kerjasama antar aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, KPK dan institusi penegak hukum lainnya sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih penanganan suatu kasus yang mengakibatkan tidak selesainya suatu kasus korupsi. Pemberantasan Korupsi diwilayah hukum Polda Metro Jaya juga memerlukan dukungan masyarakat yang senantiasa dapat proaktif dalam hal memberikan informasi-informasi dan menjalankan fungsi pengawasan yang dibutuhkan untuk penanganan suatu tindak pidana korupsi.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More